2016/01/19

Love Life

Kesalahan yang dulu pernah ku perbuat tidak pernah sekalipun aku lupakan.

Namaku Livia, perempuan, umur 17 tahun, kelas 2 SMA.

“Hei Liv, ngelamun apaan kamu?” tanya teman dekatku di sekolah, Lena. Aku sedikit terkejut dengan hentakan tangannya di pundakku. Aku membuyarkan lamunanku tentang masa lalu dan menyapa Lena. “Ah tidak ada Len. Haha ayo kita ke kantin, aku lapar”,ajak ku. Kami berdua pun pergi ke kantin untuk makan siang.

Hari itu berjalan dengan sempurna. Seperti biasa aku mendapat peringkat nomor satu di kelas. Aku memang senang dalam hal belajar. Tidak seperti Lena yang sukanya main game dan tidak pernah menyentuh buku pelajarannya. Aku selalu pulang dengan Lena. Kami berjalan menyusuri sungai kecil dekat sekolah lalu pergi ke hutan dan berjalan pulang. Kota kami masih memiliki hutan dan sungai. Tidak seperti di London yang sudah tertutup dengan gedung pencakar langit.

Keesokan harinya aku seperti biasa pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Karena perumahan dengan sekolahku terbilang cukup dekat. Hari ini langit tidak bersahabat. Aku menghela napas.

“Pagiii Livia”, sapa teman-temanku sesampainya aku di gerbang sekolah. “Pagiii teman-teman”, sapaku. Mereka membuat aku bahagia. Mereka teman yang baik. Aku bahagia telah pindah ke kota ini. Yah aku anak pindahan dari kota sebelah. Karna masa laluku yang kelam aku tidak ingin tinggal lagi disana dan orangtuaku mengerti akan hal itu. Jadi mereka mengajakku untuk pindah ke kota ini.

Sebelum pelajaran pertama dimulai biasanya guru wali kelas memberikan pengumuman. “Selamat pagi anak-anak, pagi yang cerah bukan? Haha senang sekali melihat wajah manis kalian”, ucapnya. Kami sekelas kadang membicarakannya kenapa sih ini guru, apa dia baik-baik saja?, otaknya lagi geser. Tapi dia guru favoritku.

“Baik, pagi ini bapak akan memberikan pengumuman berharga. Kalian akan mempuyai teman baru. Silahkan masuk”, pinta guru kepada murid baru yang lagi menunggu di luar pintu. Kami semua tercengang dan penasaran akan teman baru kami.

Seorang laki-laki berjalan masuk ke kelas. Rambutnya hitam legam turun dengan sempurna di kepalanya, kulitnya putih seputih salju, matanya coklat cerah, tubuhnya tinggi semampai tidak terlalu gemuk dan kurus. Dia adalah tipe ideal bagi anak-anak perempuan di kelas. Seluruh murid terpesona dengan kehadirannya. Dia berjalan dan berdiri di samping guru.
“Silahkan perkenalkan dirimu”, pinta guru. “Baik, perkenalkan namaku Evan. Senang bertemu dengan kalian”, sapa Evan. Aku sangat terkejut melihat Evan seperti masa lalu yang telah aku kubur bangkit kembali. Sesaat kami bertemu mata dan jantungku berasa berhenti saat itu juga. Keringat dingin mengucur di punggungku membuat kepalaku sedikit pusing. Oh jangan sampai aku kehilangan kesadaran.

Evan berjalan menuju meja kosong di dua bangku di samping belakangku. Aku melihat ke arahnya dan dia menatapku sambil tersenyum kecut. Aku memalingkan kepalaku dan kembali fokus ke pak guru.

Selama pelajaran hari itu aku tidak fokus. Pikiranku teralihkan kepada sesosok laki-laki yang menatapku kecut. Aku ingin kabur saat itu juga kalau bisa. Aku tidak ingin bertemu dengannya lagi, tidak.

Jam istirahat makan siang pun berbunyi. Aku merasa tidak enak badan dan ingin ke klinik sekolah. Tapi Lena menghalangiku. Dia merengek ingin ke kantin. Aku ikuti dia ke kantin dan makan sedikit. Paling tidak aku harus makan, pikirku.

“Apa kau yakin ga mau kembali ke kelas lagi Livi?” tanya Lena. Aku menggeleng kecil. “Baiklah, aku tinggalkan kau disini yah”, kata Lena. Aku mengangguk kecil. Lena pergi meninggalkanku di klinik sekolah. Membiarkanku terbaring di kasur. Aku menghela napas berat dan memposisikan tubuhku untuk beristirahat.

Tidak sadar aku telah tertidur. Aku berencana untuk bangun dan kembali ke kelas. Aku mencoba untuk berdiri dan tiba-tiba selambu tempatku tidur terbuka dan terlihat Evan telah berdiri disana. Aku terpaku seketika melihat Evan. Jantungku berdegup kencang seakan ingin melarikan diri dari rongga dadaku. Aku seakan tidak bisa bernapas dan akhirnya aku terduduk kembali di kasur. Evan berjalan memasuki bilik dan menutup selambu. Apa yang akan dilakukannya padaku, pikirku panik.

“E..e..evan a..ap..pa ya..ng”, aku mencoba bicara namun tangan Evan yang ramping itu menutup mulutku dengan satu jarinya. “Ssstttt...jangan berisik”, bisiknya di telingaku. Hembusan napasnya kembali menyentuhku setelah sekian lama. Kami saling bertatapan sejenak lalu Evan berjalan mundur.

“Hei Livi, lama tidak bertemu ya”, sapa Evan. Aku tidak bisa berkata-kata. Dia menyapaku? Apa maksudnya? Setelah sekian lama? “Aku pikir aku tidak akan bertemu denganmu lagi Livi. Tapi tampaknya takdir berkata lain huh”, katanya lagi.

“Dengar, aku tidak ingin terlibat apa-apa lagi denganmu. Sudah cukup dengan perlakuan burukmu di masa lalu. Kejadian yang tidak akan pernah aku lupakan”, kecamnya. Raut mukanya sarat akan kemarahan.

Aku ingin kabur dari tempat itu tapi kakiku lemas tak berdaya. Apa yang harus aku lakukan, tangisku dalam hati. Rasa bersalah yang amat dalam melingkupiku kembali dan membuatku gila.

Setelah berkata itu Evan pergi meninggalkanku sendiri.

Air mata mengucur deras tanpa kuminta. Hatiku hancur dan sesak. Sangat menyakitkan. Kulepaskan tangisku saat itu juga. Dengan bantal menutupi mulutku agar teriakanku tidak terdengar. Meratapi kesedihan yang mendalam. Seakan ingin agar waktu terulang ke saat itu. Berharap kesalahan besar yang aku lakukan tidak aku lakukan. Berharap Evan tidak membenciku.

Aku kembali ke kelas saat suasana hatiku sudah membaik. Aku mengikuti pelajaran dengan was-was akan Evan. Kelihatannya dia sangat menikmati pelajaran hari itu. dia mudah bergaul dengan orang disekitarnya. Lena bahkan bercerita kalau Evan jago sekali bermain sepak bola. Dia laki-laki idaman. Tapi tidak bagiku. Dia seperti melaikat pencabut nyawa yang setiap saat dapat mencabut nyawaku.

Malam itu aku memikirkan kejadian di sekolah siang itu. Aku tidak kuat lagi. Aku harus menyelesaikan masalahku dengan Evan. Aku sudah bertekad.

Keesokan harinya saat jam istirahat aku berencana menyelesaikan semua masalahku dan Evan. “Apa kau melihat Evan?”, tanyaku pada Joy. “Dia ada di halaman belakang sekolah. Katanya ada hal penting.”

Aku pergi ke halaman belakang sekolah. Ada hal penting apa yang dia lakukan? Pikirku. Aku berjalan dengan seribu pertanyaan di kepalaku dan langkahku terhenti seketika. Napasku tersengal, jantungku seakan hancur, tubuhku mematung. Mataku tak bisa teralihkan ke pemandangan yang sangat memedihkan. Hatiku benar-benar hancur.

Aku melihat Evan sedang berciuman dengan gadis di kelas sebelah. Mereka terlihat begitu mesra. Aku ingin lari tapi kakiku tidak bisa digerakkan. Air mataku menetes menuruni pipi. Yah, dia benar-benar malaikat pencabut nyawa. Aku sangat membencinya.

Evan menghentikan ciuman mereka dan menatap ke arahku. Aku menatapnya dan air mataku terjatuh lagi. Aku memaksa kakiku untuk berlari meninggalkan tempat itu.
Pelajaran kembali di mulai dan guru memberitahu hasil ujian minggu lalu. “Nilai terbaik jatuh kepada Livia. Selamat Livi, pertahankan prestasimu.”

Pelajaran telah usai dan kami diperbolehkan untuk pulang. Hari sudah larut dan aku harus mengambil pesanan mama.
Aku pergi mampir ke toko kue mengambil kue yang mama pesan. “Terima kasih”, ucapku lalu pergi.

Hari mulai gelap dan aku berjalan sendiri. Aku sama sekali tidak takut karena sudah terbiasa. Namun kali ini aku merasa ada yang mengikutiku. Aku menoleh ke belakang tidak menemuka apa pun. Aku berjalan dan menoleh lagi tidak kutemukan apapun. Akhirnya aku berlari kecil. Tapi apa gunanya. Itu hanya imajinasiku, pikirku menenangkan pikiranku. Aku menghela napas berat dan mulai berjalan pelan.

“Kau tidak berubah seperti terakhir aku mengenalmu, Livi”, ucap seseorang dari belakangku. Aku menoleh dan menemukan Evan.
“A..pa yang kau lakukan?” tanyaku terbata-bata. Evan tertawa kecil,”Tidak ada. Aku hanya mau pulang.” Evan berjalan mendahuluiku. Dia berjalan kearah yang sama dengan jalanku pulang. Terpaksa aku berjalan dibelakangnya.

Sesaat aku melihat ke punggungnya. Punggung yang dulu sangat kusuka. Aku merindukannya. Caranya berjalan juga tidak berubah. Evan adalah cinta pertamaku saat SMP. Kami begitu dekat. Sangat dekat. Sampai suatu saat kami bertengkar hebat dan aku menghancurkan impiannya.

Dia bermimpi menjadi pianis terkenal suatu saat nanti. Dan aku menghancurkan impiannya. Aku mematahkan tangannya yang indah. Dia divonis tidak bisa bermain piano lagi. Aku menangis mendengar perkataan dokter. Aku sungguh menyesal. Aku terlalu takut untuk bertemu dengannya lagi. Hingga aku memutuskan untuk pindah.

Mengingat kejadian itu air mataku mengalir deras di wajahku. Masa lalu itu mengintimidasiku. Aku tidak kuat. Dengan suara tercekat aku memberanikan diri,”Maafkan aku.”

Evan berhenti melangkah begitu juga aku. Aku terisak kecil membuat Evan menoleh ke arahku.
“Maafkan aku”, kataku sekali lagi. “Maaf? Apa kata maafmu bisa membuat semuanya kembali normal?”, tanyanya ketus. Tangisku semakin menjadi. “Maafkan aku”, ucapku sekali lagi. Tidak ada kata lain yang terucap selain maaf.
“Kau sudah menghancurkanku dan sekarang kau hanya berkata maaf?”
“Kalau aku bisa menebusnya akan aku tebus”, ucapku sedih.
“Tebus? Huh! Gadis sepertimu hanya akan melarikan diri.” Dia terdiam hingga hanya isakanku yang terdengar. “Tatap aku”, pintanya. Aku tak kuat menatapnya. Tangannya meraih daguku dan mengangkatnya hingga mata kami bertemu.
“Tidak pernahkah kau berpikir hidup seperti apa yang aku lalui? Tidakkah sekalipun kau menanyakan kabarku? Tidakkah aku bahkan terlintas dipikiranmu? Kau menghancurkanku lalu kau meninggalkanku? Tidakkah kau merasa bersalah!” teriaknya. “Yang ku punya hanyalah kau. Hanya kau yang aku cinta. Tapi kenapa kau meninggalkanku?!” air matanya mengalir menuruni pipinya. Hatiku hancur mendengarnya. “Apa kau tidak merindukanku?” tanyanya sedih.

Lalu dia merogoh kantung celananya dan mengluarkan liontin. “Kau ingat liontin ini? Liontin cinta kita dulu. Cinta yang mau kau hancurkan. Apa kau tidak ingat? Aku berusaha melindungi liontin ini. Melindungi cinta kita. Aku bahkan mengorbankan impianku. Apa kau tidak ingat?”
“Aku ingat. Aku bahkan tidak bisa tidur. Aku memikirkan dirimu setiap saat setiap detik. Aku takut. Aku merasa bersalah seakan aku mau bunuh diri. Aku bahkan mengunci kamarku beberapa minggu. Aku berharap kita tidak pernah bertengkar. Aku harap aku tidak pernah menjatuhi tanganmu dengan batu. Aku menyesal. Sungguh aku minta maaf. Akan aku lakukan apapun yang kau minta.”
“Apapun?” tanyanya. Aku mengangguk kecil. Semua resikonya aku siap.
“Jadilah milikku lagi, Livi”, pinta Evan. Aku terkejut bukan main. “Ap...pa?”
“Iya, jadilah milikku lagi. Aku tak bisa hidup tanpamu Livi. Aku terlalu mencintaimu”, ucap Evan manis. “Setelah semua yang aku lakukan?” tanyaku tak percaya.
“Iya, aku yakin akan ada mimpi dan masa depan lain bagi kita.”
Evan memelukku erat. Aku pun membalas pelukannya. Pelukan yang sangat aku rindukan.

Cinta bahkan dapat mengalahkan rasa benci yang mendalam. Hidup tetap harus bejalan. Aku memilih jalan ini. Aku akan menjaga cinta Evan. Tak akan pernah aku hancurkan lagi. Aku siap menjalani hidup baruku bersama Evan. Apapun yang terjadi.


The end~