Kesalahan yang dulu pernah ku perbuat tidak
pernah sekalipun aku lupakan.
Namaku
Livia, perempuan, umur 17 tahun, kelas 2 SMA.
“Hei
Liv, ngelamun apaan kamu?” tanya teman dekatku di sekolah, Lena. Aku sedikit
terkejut dengan hentakan tangannya di pundakku. Aku membuyarkan lamunanku
tentang masa lalu dan menyapa Lena. “Ah tidak ada Len. Haha ayo kita ke kantin,
aku lapar”,ajak ku. Kami berdua pun pergi ke kantin untuk makan siang.
Hari
itu berjalan dengan sempurna. Seperti biasa aku mendapat peringkat nomor satu
di kelas. Aku memang senang dalam hal belajar. Tidak seperti Lena yang sukanya
main game dan tidak pernah menyentuh buku pelajarannya. Aku selalu pulang
dengan Lena. Kami berjalan menyusuri sungai kecil dekat sekolah lalu pergi ke
hutan dan berjalan pulang. Kota kami masih memiliki hutan dan sungai. Tidak seperti
di London yang sudah tertutup dengan gedung pencakar langit.
Keesokan
harinya aku seperti biasa pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Karena
perumahan dengan sekolahku terbilang cukup dekat. Hari ini langit tidak
bersahabat. Aku menghela napas.
“Pagiii
Livia”, sapa teman-temanku sesampainya aku di gerbang sekolah. “Pagiii
teman-teman”, sapaku. Mereka membuat aku bahagia. Mereka teman yang baik. Aku
bahagia telah pindah ke kota ini. Yah aku anak pindahan dari kota sebelah.
Karna masa laluku yang kelam aku tidak ingin tinggal lagi disana dan orangtuaku
mengerti akan hal itu. Jadi mereka mengajakku untuk pindah ke kota ini.
Sebelum
pelajaran pertama dimulai biasanya guru wali kelas memberikan pengumuman.
“Selamat pagi anak-anak, pagi yang cerah bukan? Haha senang sekali melihat
wajah manis kalian”, ucapnya. Kami sekelas kadang membicarakannya kenapa sih ini guru, apa dia baik-baik saja?, otaknya lagi geser.
Tapi dia guru favoritku.
“Baik,
pagi ini bapak akan memberikan pengumuman berharga. Kalian akan mempuyai teman
baru. Silahkan masuk”, pinta guru kepada murid baru yang lagi menunggu di luar
pintu. Kami semua tercengang dan penasaran akan teman baru kami.
Seorang
laki-laki berjalan masuk ke kelas. Rambutnya hitam legam turun dengan sempurna
di kepalanya, kulitnya putih seputih salju, matanya coklat cerah, tubuhnya
tinggi semampai tidak terlalu gemuk dan kurus. Dia adalah tipe ideal bagi
anak-anak perempuan di kelas. Seluruh murid terpesona dengan kehadirannya. Dia
berjalan dan berdiri di samping guru.
“Silahkan
perkenalkan dirimu”, pinta guru. “Baik, perkenalkan namaku Evan. Senang bertemu
dengan kalian”, sapa Evan. Aku sangat terkejut melihat Evan seperti masa lalu
yang telah aku kubur bangkit kembali. Sesaat kami bertemu mata dan jantungku
berasa berhenti saat itu juga. Keringat dingin mengucur di punggungku membuat
kepalaku sedikit pusing. Oh jangan sampai aku kehilangan kesadaran.
Evan
berjalan menuju meja kosong di dua bangku di samping belakangku. Aku melihat ke
arahnya dan dia menatapku sambil tersenyum kecut. Aku memalingkan kepalaku dan
kembali fokus ke pak guru.
Selama
pelajaran hari itu aku tidak fokus. Pikiranku teralihkan kepada sesosok
laki-laki yang menatapku kecut. Aku ingin kabur saat itu juga kalau bisa. Aku
tidak ingin bertemu dengannya lagi, tidak.
Jam
istirahat makan siang pun berbunyi. Aku merasa tidak enak badan dan ingin ke
klinik sekolah. Tapi Lena menghalangiku. Dia merengek ingin ke kantin. Aku
ikuti dia ke kantin dan makan sedikit. Paling tidak aku harus makan, pikirku.
“Apa
kau yakin ga mau kembali ke kelas lagi Livi?” tanya Lena. Aku menggeleng kecil.
“Baiklah, aku tinggalkan kau disini yah”, kata Lena. Aku mengangguk kecil. Lena
pergi meninggalkanku di klinik sekolah. Membiarkanku terbaring di kasur. Aku
menghela napas berat dan memposisikan tubuhku untuk beristirahat.
Tidak
sadar aku telah tertidur. Aku berencana untuk bangun dan kembali ke kelas. Aku
mencoba untuk berdiri dan tiba-tiba selambu tempatku tidur terbuka dan terlihat
Evan telah berdiri disana. Aku terpaku seketika melihat Evan. Jantungku
berdegup kencang seakan ingin melarikan diri dari rongga dadaku. Aku seakan
tidak bisa bernapas dan akhirnya aku terduduk kembali di kasur. Evan berjalan
memasuki bilik dan menutup selambu. Apa yang akan dilakukannya padaku, pikirku
panik.
“E..e..evan
a..ap..pa ya..ng”, aku mencoba bicara namun tangan Evan yang ramping itu
menutup mulutku dengan satu jarinya. “Ssstttt...jangan berisik”, bisiknya di
telingaku. Hembusan napasnya kembali menyentuhku setelah sekian lama. Kami
saling bertatapan sejenak lalu Evan berjalan mundur.
“Hei
Livi, lama tidak bertemu ya”, sapa Evan. Aku tidak bisa berkata-kata. Dia
menyapaku? Apa maksudnya? Setelah sekian lama? “Aku pikir aku tidak akan
bertemu denganmu lagi Livi. Tapi tampaknya takdir berkata lain huh”, katanya
lagi.
“Dengar,
aku tidak ingin terlibat apa-apa lagi denganmu. Sudah cukup dengan perlakuan
burukmu di masa lalu. Kejadian yang tidak akan pernah aku lupakan”, kecamnya.
Raut mukanya sarat akan kemarahan.
Aku
ingin kabur dari tempat itu tapi kakiku lemas tak berdaya. Apa yang harus aku
lakukan, tangisku dalam hati. Rasa bersalah yang amat dalam melingkupiku
kembali dan membuatku gila.
Setelah
berkata itu Evan pergi meninggalkanku sendiri.
Air
mata mengucur deras tanpa kuminta. Hatiku hancur dan sesak. Sangat menyakitkan.
Kulepaskan tangisku saat itu juga. Dengan bantal menutupi mulutku agar
teriakanku tidak terdengar. Meratapi kesedihan yang mendalam. Seakan ingin agar
waktu terulang ke saat itu. Berharap kesalahan besar yang aku lakukan tidak aku
lakukan. Berharap Evan tidak membenciku.
Aku
kembali ke kelas saat suasana hatiku sudah membaik. Aku mengikuti pelajaran
dengan was-was akan Evan. Kelihatannya dia sangat menikmati pelajaran hari itu.
dia mudah bergaul dengan orang disekitarnya. Lena bahkan bercerita kalau Evan
jago sekali bermain sepak bola. Dia laki-laki idaman. Tapi tidak bagiku. Dia
seperti melaikat pencabut nyawa yang setiap saat dapat mencabut nyawaku.
Malam
itu aku memikirkan kejadian di sekolah siang itu. Aku tidak kuat lagi. Aku
harus menyelesaikan masalahku dengan Evan. Aku sudah bertekad.
Keesokan
harinya saat jam istirahat aku berencana menyelesaikan semua masalahku dan
Evan. “Apa kau melihat Evan?”, tanyaku pada Joy. “Dia ada di halaman belakang
sekolah. Katanya ada hal penting.”
Aku
pergi ke halaman belakang sekolah. Ada hal penting apa yang dia lakukan?
Pikirku. Aku berjalan dengan seribu pertanyaan di kepalaku dan langkahku
terhenti seketika. Napasku tersengal, jantungku seakan hancur, tubuhku
mematung. Mataku tak bisa teralihkan ke pemandangan yang sangat memedihkan.
Hatiku benar-benar hancur.
Aku
melihat Evan sedang berciuman dengan gadis di kelas sebelah. Mereka terlihat
begitu mesra. Aku ingin lari tapi kakiku tidak bisa digerakkan. Air mataku
menetes menuruni pipi. Yah, dia benar-benar malaikat pencabut nyawa. Aku sangat
membencinya.
Evan
menghentikan ciuman mereka dan menatap ke arahku. Aku menatapnya dan air mataku
terjatuh lagi. Aku memaksa kakiku untuk berlari meninggalkan tempat itu.
Pelajaran
kembali di mulai dan guru memberitahu hasil ujian minggu lalu. “Nilai terbaik
jatuh kepada Livia. Selamat Livi, pertahankan prestasimu.”
Pelajaran
telah usai dan kami diperbolehkan untuk pulang. Hari sudah larut dan aku harus
mengambil pesanan mama.
Aku
pergi mampir ke toko kue mengambil kue yang mama pesan. “Terima kasih”, ucapku
lalu pergi.
Hari
mulai gelap dan aku berjalan sendiri. Aku sama sekali tidak takut karena sudah
terbiasa. Namun kali ini aku merasa ada yang mengikutiku. Aku menoleh ke
belakang tidak menemuka apa pun. Aku berjalan dan menoleh lagi tidak kutemukan
apapun. Akhirnya aku berlari kecil. Tapi apa gunanya. Itu hanya imajinasiku,
pikirku menenangkan pikiranku. Aku menghela napas berat dan mulai berjalan
pelan.
“Kau
tidak berubah seperti terakhir aku mengenalmu, Livi”, ucap seseorang dari
belakangku. Aku menoleh dan menemukan Evan.
“A..pa
yang kau lakukan?” tanyaku terbata-bata. Evan tertawa kecil,”Tidak ada. Aku
hanya mau pulang.” Evan berjalan mendahuluiku. Dia berjalan kearah yang sama
dengan jalanku pulang. Terpaksa aku berjalan dibelakangnya.
Sesaat
aku melihat ke punggungnya. Punggung yang dulu sangat kusuka. Aku
merindukannya. Caranya berjalan juga tidak berubah. Evan adalah cinta pertamaku
saat SMP. Kami begitu dekat. Sangat dekat. Sampai suatu saat kami bertengkar
hebat dan aku menghancurkan impiannya.
Dia
bermimpi menjadi pianis terkenal suatu saat nanti. Dan aku menghancurkan
impiannya. Aku mematahkan tangannya yang indah. Dia divonis tidak bisa bermain
piano lagi. Aku menangis mendengar perkataan dokter. Aku sungguh menyesal. Aku
terlalu takut untuk bertemu dengannya lagi. Hingga aku memutuskan untuk pindah.
Mengingat
kejadian itu air mataku mengalir deras di wajahku. Masa lalu itu mengintimidasiku.
Aku tidak kuat. Dengan suara tercekat aku memberanikan diri,”Maafkan aku.”
Evan
berhenti melangkah begitu juga aku. Aku terisak kecil membuat Evan menoleh ke
arahku.
“Maafkan
aku”, kataku sekali lagi. “Maaf? Apa kata maafmu bisa membuat semuanya kembali
normal?”, tanyanya ketus. Tangisku semakin menjadi. “Maafkan aku”, ucapku
sekali lagi. Tidak ada kata lain yang terucap selain maaf.
“Kau
sudah menghancurkanku dan sekarang kau hanya berkata maaf?”
“Kalau
aku bisa menebusnya akan aku tebus”, ucapku sedih.
“Tebus?
Huh! Gadis sepertimu hanya akan melarikan diri.” Dia terdiam hingga hanya
isakanku yang terdengar. “Tatap aku”, pintanya. Aku tak kuat menatapnya.
Tangannya meraih daguku dan mengangkatnya hingga mata kami bertemu.
“Tidak
pernahkah kau berpikir hidup seperti apa yang aku lalui? Tidakkah sekalipun kau
menanyakan kabarku? Tidakkah aku bahkan terlintas dipikiranmu? Kau
menghancurkanku lalu kau meninggalkanku? Tidakkah kau merasa bersalah!”
teriaknya. “Yang ku punya hanyalah kau. Hanya kau yang aku cinta. Tapi kenapa
kau meninggalkanku?!” air matanya mengalir menuruni pipinya. Hatiku hancur
mendengarnya. “Apa kau tidak merindukanku?” tanyanya sedih.
Lalu
dia merogoh kantung celananya dan mengluarkan liontin. “Kau ingat liontin ini?
Liontin cinta kita dulu. Cinta yang mau kau hancurkan. Apa kau tidak ingat? Aku
berusaha melindungi liontin ini. Melindungi cinta kita. Aku bahkan mengorbankan
impianku. Apa kau tidak ingat?”
“Aku
ingat. Aku bahkan tidak bisa tidur. Aku memikirkan dirimu setiap saat setiap
detik. Aku takut. Aku merasa bersalah seakan aku mau bunuh diri. Aku bahkan
mengunci kamarku beberapa minggu. Aku berharap kita tidak pernah bertengkar.
Aku harap aku tidak pernah menjatuhi tanganmu dengan batu. Aku menyesal.
Sungguh aku minta maaf. Akan aku lakukan apapun yang kau minta.”
“Apapun?”
tanyanya. Aku mengangguk kecil. Semua resikonya aku siap.
“Jadilah
milikku lagi, Livi”, pinta Evan. Aku terkejut bukan main. “Ap...pa?”
“Iya,
jadilah milikku lagi. Aku tak bisa hidup tanpamu Livi. Aku terlalu
mencintaimu”, ucap Evan manis. “Setelah semua yang aku lakukan?” tanyaku tak
percaya.
“Iya,
aku yakin akan ada mimpi dan masa depan lain bagi kita.”
Evan
memelukku erat. Aku pun membalas pelukannya. Pelukan yang sangat aku rindukan.
Cinta bahkan dapat mengalahkan rasa benci
yang mendalam. Hidup tetap harus bejalan. Aku memilih jalan ini. Aku akan
menjaga cinta Evan. Tak akan pernah aku hancurkan lagi. Aku siap menjalani
hidup baruku bersama Evan. Apapun yang terjadi.
The
end~